Senin, 24 September 2012

JANGAN MENUNDA UCAP CINTA


Jangan menunda ucap cinta
                Saya akan pulang ke Denmark, anakku, dan aku hanya ingin mengatakan bahwa aku mencintaimu. Dalam percakapan lewat telepon dan itu yang terakhir dengan ayah, dia mengulang kalimat di atas sebanyak  tujuh kali dalam waktu setengah jam. Dan aku tidak mendengarkan. Aku mendengar suaranya, tetapi bukan pesannya, dan tentu saja bukan maksudnya yang paling dalam. Aku percaya bahwa ayahku atuaku akan hidup lebih dari seratus tahun, seperti halnya paman tuaku yang hidup hingga usia 107 tahun. Aku sama sekali tidak merasakan adanya kesedihan pada diri ayah atas kematian ibu. Aku tak memahami kesepiannya yang mendalam.
                Ayah meninggal, kata saudaraku Brian, pada tanggal 4 juli 1973. Adikku adalah pengacara yang cerdas dan mempunyai cara berpikir yang cepat dan penuh humor. Kukira dia ingin mengejutkanku dengan bercanda, dan aku menunggu inti pembicaraannya. Tapi, tak ada humor dalam kata – katanya. Ayah meninggal di ranjang tempat ia dilahirkan, di Rozkeldj, katanya melanjutkan. Direktur pemakaman memasukkannya ke peti mati, dan mengirim ayah dan barang – barangnya kepada kita besok, kita harus menyiapkan upacara pemakaman.
   `           Aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Ini bukanlah yang seharusnya terjadi. Seandainya saja aku seadainya saja aku tau kalau hari – hari ini hari – hari terakhir ayah, aku akan minta kepadanya untuk menyertainya ke Denmark. Aku perca akan hospice movement, yang mengatakan : “ Tak seharusnya seseorang meninggal dalam kesendirian”. Seseorang yang mengasihi harus memegang tanganmu dan menghiburmu ketika kau berpindah dari satu realitas satu ke realitas lainnya. Aku pasti akan memberikan penghiburan selama saat – saat terakhir.
                Pada pagi hari ketika aku berusai 9 tahun, dia baru pulang dari bekerja selama 18jam di perusahaan rotinya dan membangunkanku pada pukul 05.00 pagi, dengan cara mengusap – usap punggungku dengan tangannya yang kuat dan berbisik, “sudah waktunya bangun, nak”. Pada saat aku berpakaian dan siap berkeliling, dia telah melipat Koran – koranku, mengikat dan memasukannya dalam keranjang sepedaku. Mengenang semangat kedermawanannya , aku menangis. Ketika aku ikut lomba balap sepeda, dia mengantarku sejauh 50mil. Sesekali jalan ke Kenosha, Wisconsin setiap Selasa malam sehingga aku bisa ikut lomba balap sepeda itu dan dia mengawasiku. Dia ada disana untuk memeluk ku ketika aku kalah dan ikut bergembira ketika aku menang. Mengenang ini, aku terharu. Kemudian, dia juga menyertaiku kesetiap pembicaraan lokalku di Cicago, ketika aku berpidato untuk Century 21, Mary Kai, Equitable dan berbagai gereja lainnya. Dia selalu tersenyum ketika mendengarkan dan dengan bangga mengatakan kepada siapa saja disampingnya,” itu adalah anak lelakiku”. Mengenang itu semua hatiku sedih, karena ayah selalu ada disampingku dan aku tidak ada ddisampingnya ketika dia meninggal. Dia sendirian, tanpa sempat mengetahui bahwa aku sungguh mencintainya. Aku Cuma tidak mengatakannya. Jika ada waktu satu detik lagi untuk aku besama ayah, akan aku katakan seribu kali, aku mencintainya, sangat mencintainya, dan akan menggenggam tangannya, saat dia tersenyum dan mati. Ia tidak akan sendiri. Tapi, aku tak melakukannya. Aku tak bisa membaca garis takdir.

Nasihat tulus yang bisa aku berikan kepada Anda adalah bahwa Anda harus selalu membagi cinta dengan orang yang Anda cintai, dan mintalah untuk dipanggil  saat dia mengalami transisi yang sunyi itu. Ketika keidupan fisik berubah menjadi kehidupan spiritual. Mengalami proses kematian dengan seseorang yang Anda cintai akan membawa Anda ke dimensi keberadaan yang lebih besar, lebih luas. (Stanley Moulson)







HADAPI SEKARANG JUGA


HADAPI SEKARANG JUGA
            Seorang petani tua selama bertahun – tahun di sekeliling sebuah batu besar  di salah satu petak sawahnya. Batu itu telah mematahkan beberapa mata bajaknya dan sebuah cangkul petani. Anehnya, makin hari batu itu  semakin tumbuh besar dan semakin menyulikan pak tani.
            Pada suatu hari setelah mata bajaknya kembali patah dan teringat akan berbagai kesulitan yang telah ditimbulkan batu itu selama bertahun – tahun, akhirnya ia memutuskan untuk melakukan sesuatu.
            Ketika ia menancapkan linggis ke dasar batu itu, ia terkejut karena menemukan batu itu memiliki ketebalan  sekitar 20cm  dan dapat menghancurkanya dengan mudah dengan menggunakan sebuah palu besar. Maka, ia pun menyingkirkan pecahan – pecahan batu itu dari letaknya sambil tersenyum. Ia ingat akan kesulitan yang timbul dari batu itu selama bertahun – tahun dan betapa mudahnya ia seharusnya dapat mengatasi batu itu dengan segera.

HAL YANG DAPAT DIPETIK DARI PENGGALAN CERITA ITU ADALAH:
Sebelum kita mencoba segala sesuatu kita tidak akan pernah tau betapa mudahnya kita mengatasinya. Oleh karena itu jangan pernah menhindari masalah tapi hadapi masalah itu segera agar tidak banyak menimbulkan kesulitan pada diri kita.